A.
PENATALAKSANAAN
PERSALINAN NORMAL
Faktor yang perlu dinilai dan dicatat dalam persalinan :
1.
Waktu terjadinya kontraksi uterus
pertama kali, frekuensi kontraksi uterus, keadaan selaput ketuban, riwayat
perdarahan atau gangguan pada gerakan janin.
2.
Riwayat alergi, medikasi, saat makan
terakhir.
3.
Tanda vital ibu, protein urine dan
glukosa serta pola kontraksi uterus.
4.
Detik jantung janin, presentasi dan
tafsiran berat badan janin.
5.
Keadaan selaput ketuban, dilatasi
& pendataran servik dan derajat penurunan bagian terendah janin melalui
pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kecuali bila terdapat kontraindikasi
melakukan VT (perdarahan antepartum).
Pada saat masuk kamar bersalin perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium :
1. Hematokrit dan hemoglobin.
2. Faal pembekuan darah (waktu pembekuan dan waktu perdarahan).
3. Golongan darah.
B.
PERSALINAN
KALA I (TAHAP PEMBUKAAN)
In partu (partus mulai) ditandai dengan lendir bercampur
darah, karena serviks mulai membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya
pembuluh darah kapiler sekitar karnalis servikalis karena pergeseran ketika
serviks mendatar dan terbuka. Pada kala ini terbagi atas dua fase yaitu:
1.
Fase Laten: dimana pembukaan serviks
berlangsung lambat, sampai pembukaan 3 cm
2.
Fase aktif: yang terbagi atas 3
subfase yaitu akselerasi, steady dan deselerasi
Kala I adalah tahap terlama, berlangsung 12-14 jam untuk
kehamilan pertama dan 6-10 jam untuk kehamilan berikutnya. Pada tahap ini mulut
rahim akan menjadi tipis dan terbuka karena adanya kontraksi rahim secara
berkala untuk mendorong bayi
ke jalan lahir. Pada setiap kontraksi rahim, bayi akan semakin terdorong ke
bawah sehingga menyebabkan pembukaan jalan lahir.
Kala I persalinan di sebut lengkap ketika pembukaan jalan
lahir menjadi 10 cm, yang berarti pembukaan sempurna dan bayi siap keluar dari
rahim.
Masa transisi ini menjadi masa yang paling sangat sulit bagi
ibu. Menjelang berakhirnya kala I, pembukaan jalan lahir sudah hampir sempurna.
Kontraksi yang terjadi akan semakin sering dan semakin kuat. Anda mungkin
mengalami rasa sakit yang hebat, kebanyakan wanita yang pernah mengalami masa inilah
yang merasakan masa yang paling berat. Anda akan merasakan datangnya rasa mulas
yang sangat hebat dan terasa seperti ada tekanan yang sangat besar ke arah
bawah, seperti ingin buang air besar.
Menjelang akhir kala pertama, kontraksi semakin sering dan kuat, dan bila pembukaan jalan lahir sudah 10 cm berarti bayi siap dilahirkan dan proses persalinan memasuki kala II.
Menjelang akhir kala pertama, kontraksi semakin sering dan kuat, dan bila pembukaan jalan lahir sudah 10 cm berarti bayi siap dilahirkan dan proses persalinan memasuki kala II.
1. Pasien diperkenankan
untuk berjalan-jalan sesuai keinginannya.
2. Tidak perlu puasa, dapat diberikan makan dalam bentuk cair.
3. Bila perlu dapat diberikan cairan intravena untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan kalori.
4. Nadi dan tekanan darah diperiksa setiap 2 – 4 jam.
5. Dilakukan pencatatan keseimbangan cairan (produksi urine dan
cairan intravena atau peroral).
6. Dapat dipertimbangkan pemberian analgesia bila pasien
memerlukan oleh karena merasa sangat nyeri dan tidak bisa hilangk dengan
pemberian informasi mengenai jalannya persalinan.
7. Pemeriksaan kesehatan janin melalui pemantauan janin dengan
kardiotokografi.
8. Pada kasus resiko rendah dengarkan DJJ tiap 30 menit (pada
kasus resiko tinggi setiap 15 menit) segera setelah kontraksi uterus.
9. Pemantauan kontraksi uterus melalui palpasi dilakukan tiap 30
menit untUk menentukan frekuensi, durasi dan intensitas his. Pada fase
aktif penilaian dilatasi dan desensus dengan VT dilakukan tiap 2 jam.
Tindakan amniotomi rutin tidak boleh dilakukan sebelum
dilatasi servik lengkap.
C.
PERSALINAN KALA II (TAHAP PENGELUARAN BAYI)
Pada kala pengeluaran janin, rasa mulas terkordinir, kuat,
cepat dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin turun masuk
ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang
secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Anda merasa seperti mau buang air
besar, dengan tanda anus terbuka. Pada waku mengedan, kepala janin mulai
kelihatan, vulva (bagian luar vagina) membuka dan perineum (daerah antara anus-vagina)
meregang. Dengan mengedan terpimpin, akan lahirlah kepala diikuti oleh seluruh
badan janin.
Ibu akan merasakan tekanan yang kuat di daerah perineum.
Daerah perineum bersifa elastis, tapi bila dokter/bidan memperkirakan perlu
dilakukan pengguntingan di daerah perineum (episiotomi), maka tindakan ini akan
dilakukan dengan tujuan mencegah perobekan paksa daerah perineum akibat tekanan bayi
Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek
meneran dari ibu pada tiap kontraksi uterus.
Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan
mendorong janin keluar dari jalan lahir.
Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan
derajat desensus (gambar 12.2). Pada saat bagian terendah janin berada
setinggi spina ischiadica maka dikatakan penurunan pada stasion 0.
Pada primigravida, umumnya kala II berlangsung selama ± 50
menit dan pada multigravida ± 20 menit.
Mekanisme Persalinan Normal
Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian
gerakan untuk melewati panggul - “seven cardinal movements of labor” yang
terdiri dari :
1.
Engagemen
2.
Fleksi
3.
Desensus
4.
Putar paksi dalam
5.
Ekstensi
6.
Putar paksi luar
7.
Ekspulsi
Gerakan-gerakan tersebut terjadi pada presentasi kepala dan
presentasi bokong.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan janin dapat mengatasi
rintangan jalan lahir dengan baik sehingga dap[at terjadi persalinan per
vaginam secara spontan.
1.
Engagemen
a.
Suatu keadaan dimana diameter
biparietal sudah melewati pintu atas panggul.
b. Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada
panggul jenis ginekoid dengan oksiput melintang (tranversal)
c.
Proses engagemen kedalam pintu atas
panggul dapat melalui proses normal sinklitismus , asinklitismus anterior
dan asinklitismus posterior :
1)
Normal sinklitismus : Sutura sagitalis tepat diantara simfisis pubis dan sacrum.
2) Asinklitismus anterior : Sutura sagitalis lebih dekat
kearah sacrum.
3) Asinklitismus posterior: Sutura sagitalis lebih dekat kearah simfisis pubis
(parietal bone presentasion
2.
Fleksi
Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding
panggul dan otot dasar panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan
desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi
kepala sehingga terjadi letak defleksi (presentasi dahi, presentasi muka).
3.
Desensus
Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak
berlanjut sampai awal kala II; pada multipara desensus berlangsung bersamaan
dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
a.
Tekanan cairan amnion
b.
Tekanan langsung oleh fundus uteri
pada bokong
c.
Usaha meneran ibu
d.
Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh
janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :
a.
Ukuran dan bentuk panggul
b. Posisi bagian terendah janin
Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan
panggul akan menyebabkan desensus berlangsung lambat.
Desensus berlangsung terus sampai janin lahir.
4.
Putar
paksi dalam- internal rotation
a.
Bersama dengan gerakan desensus,
bagian terendah janin mengalami putar paksi dalam pada level setinggi spina
ischiadica (bidang tengah panggul).
b. Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi
anterior (kadang-kadang kearah posterior).
c.
Putar paksi dalam berakhir setelah
kepala mencapai dasar panggul.
5.
Ekstensi
Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan
ekstensi kepala harus terjadi sebelum dapat melewati pintu bawah panggul.
Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi
teregang dan diikuti dengan “crowning”
Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan
penolong persalinan melakukan tindakan dengan perasat Ritgen untuk
mencegah kerusakan perineum yang luas dengan jalan mengendalikan persalinan
kepala janin.
Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya
pada keadaan tertentu.
Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin
lahir.
Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas
dibebaskan dari darah dan cairan amnion. Mulut dibersihkan terlebih dahulu
sebelum melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya
lilitan talipusat sekitar leher dengan jari telunjuk. Lilitan talipusat yang
terjadi harus dibebaskan terlebih dahulu. Bila lilitan talipusat terlalu erat
dapat dilakukan pemotongan diantara 2 buah klem.
6.
Putar
paksi luar- external rotation
Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar (restitusi)
yang menyebabkan posisi kepala kembali pada posisi saat engagemen terjadi dalam
jalan lahir.
Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus
kedalam panggul dengan cara seperti yang terjadi pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 450
menuju arcus pubis sebelum dapat lahir dibawah simfisis.
Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah
pada samping kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk
melahirkan bahu posterior.
Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari cedera pada pleksus brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya
berlangsung pada sisa bagian tubuh janin dengan melakukan traksi pada bahu
janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta
pada neonatus bila tubuh anak diletakkan dibawah introitus vagina.
Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat
dapat mengakibatkan terjadinya hiperbilirubinemia neonatal akibat
aliran darah plasenta tersebut.
Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan
pemasangan dua buah klem talipusat dilakukan dalam waktu sekitar 15 – 20 detik
setelah bayi lahir dan kemudian baru dilakukan pemotongan talipusat diantara
kedua klem.
D.
PERSALINAN KALA III (TAHAP PENGELUARAN
PLASENTA)
Persalinan kala III adalah periode persalinan antara
lahirnya janin sampai lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
Dimulai setelah bayi lahir, dan plasenta akan keluar dengan sendirinya. Proses
melahirkan plasenta berlangsung antara 5-30 menit. Pengeluaran plasenta
disertai dengan pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc. Dengan adanya kontraksi
rahim, plasenta akan terlepas. Setelah itu dokter/bidan akan memeriksa apakah
plasenta sudah terlepas dari dinding rahim. Setelah itu barulah dokter/bidan
membersihkan segalanya termasuk memberikan jahitan bila tindakan episiotomi
dilakukan
Akibat masih adanya kontraksi uterus, ukuran plasenta dan “plasental
site” mengecil sampai tersisa 25% → hematoma retroplasenta → terjadi
separasi plasenta.
Separasi plasenta umumnya terjadi 5 menit setelah anak
lahir.
Penatalaksanaan kala III :
1.
Penatalaksanaan klasik atau tradisional
2.
Penatalaksanaan aktif
Penatalaksanan fisiologik (ekspektatif)
Separasi plasenta dan selaput ketuban dibiarkan terjadi secara
spontan.
Tanda separasi plasenta :
1.
Darah segar keluar dari vagina.
2.
Talipusat didepan vulva menjadi
bertambah panjang.
3.
Fundus uteri naik.
4.
Bentuk uterus menjadi bulat dan
mengeras
Setelah tanda separasi muncul, dilakukan masase uterus agar
terjadi kontraksi uterus. Uterus yang sedang berkontraksi didorong kearah
pelvis sehingga plasenta dan selaput ketuban bergerak seperti “piston” keluar
vagina.
Plasenta yang keluar dicekap dan dipeluntir agar plasenta
dan selaput ketuban dapat keluar secara utuh.
Penatalaksanaan aktif
Cara ini diyakini dapat menurunkan angka kejadian perdarahan
pasca persalinan dari 4% menjadi 2%.
1.
Setelah janin lahir, disuntikkan methergin
0.5 ml i.m (atau oksitosin bila terdapat kontra-indikasi
pemberian methergin)
2.
Untuk
menghindari inversio uteri traksi talipusat hanya dilakukan saat ada kontraksi
uterus dan dengan meletakkan tangan suprasimfisis
3.
Klem talipusat dipegang dengan
tangan kanan dan talipusat diregangkan.
4.
Tangan kiri melakukan masase fundus
uteri, bila sudah timbul kontraksi uterus, tangan kiri dipindahkan
supra-simfisis dan kemudian dilakukan tarikan talipusat secara terkendali untuk
melahirkan plasenta.
5.
Jangan melakukan tarikan pada
talipusat untuk melahirkan plasenta pada saat tidak ada kontraksi uterus untuk
mencegah terjadinya inversio uteri.
Inspeksi Plasenta dan selaput ketuban
1. Plasenta dan selaput ketuban diperiksa dengan jalan memegang
talipusat untuk membuat plasenta dalam keadaan tergantung dan memeriksa “fetal
surface” untuk melihat adanya pembuluh darah yang melewati tepi selaput
ketuban.
2. Selaput ketuban diperiksa untuk memastikan tidak adanya
selaput yang tertinggal dalam uterus.
3. “Maternal surface”
plasenta diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kotiledon yang
tertinggal dalam uterus.
Retensio Plasenta
1. Batasan umum yang
digunakan untuk retensio plasenta adalah bila plasenta tetap berada dalam
uterus selama 1 jam.
2. Keadaan ini sering disertai dengan perdarahan pasca
persalinan.
Etiologi:
1.
Inkarserasi dari plasenta yang sudah lepas seluruhnya dengan ostium
servik yang sudah menutup.
2.
Atonia
uteri.
3.
Plasenta
akreta ( melekat pada desidua dan
miometrium) atau plasenta perkreta ( menembus sampai peritoneum
viseralis/serosa).
Penatalaksanaan :
1. Bila perdarahan
sangat banyak maka plasenta harus segera dilahirkan dengan cara-cara yang sudah
dijelaskan atau dilakukan plasenta manual.
2. Plasenta akreta atau plasenta perkreta memerlukan tindakan
histerektomi.
Inspeksi Jalan Lahir
1. Setelah plasenta dan
selaput ketuban lahir, perdarahan biasanya berhenti.
2. Bila terdapat robekan perineum atau terdapat luka akibat
tindakan episiotomi maka hal tersebut memerlukan perbaikan.
3. Pada persalinan dengan ekstraksi cunam, inspeksi jalan lahir
harus meliputi servik.
Perbaikan luka jalan lahir
1.
Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum dan vagina yang sudah
sangat teregang untuk mencegah agar tidak terjadi perluasan dan robekan jalan
lahir tak beraturan yang akan dapat menyebabkan terjadinya prolapsus uteri
kelak.
Pandangan saat ini adalah bahwa tindakan episiotomi tidak
boleh dilakukan secara rutin oleh karena dapat menyebabkan nyeri perineum yang
berkepanjangan dan gangguan hubungan seksual sampai 6 bulan pasca episiotomi.
Bila luka episiotomi meluas menjadi ruptura perinei derajat
III dan IV, sfingter ani harus diperbaiki dengan baik agar tidak terjadi inkontinensia
urine dan atau inkontinensia ani.
Bila episiotomi harus dikerjakan karena regangan perineum
yang sangat berlebihan, maka maksud dan tujuan dari tindakan tersebut harus
dijelaskan pada pasien dan keluarganya terlebih dahulu. Tindakan episotomi
harus dengan ijin pasien.
Episiotomi harus dikerjakan dengan anestesi regional atau
lokal.
Episotomi dapat dikerjakan secara medial [midline] atau mediolateral.
a.
Episiotomi
Mediana :
1)
Perdarahan sedikit.
2)
Mudah meluas menjadi ruptura perinei
totalis.
3)
Tehnik perbaikan lebih mudah.
4)
Keluhan dispareunia atau nyeri pasca
persalinan minimal .
b. Episiotomi Medio-lateral:
1)
Perdarahan lebih banyak.
2)
Jarang meluas menjadi ruptura
perinei totalis.
3)
Tehnik perbaikan lebih sulit.
4)
Keluhan dispareunia dan nyeri pasca
persalinan lebih sering terjadi.
Ruptura perinei
Dikenal 4 derajat ruptura perinei :
1.
Derajat I : cedera pada commisura posterior, mukosa vagina dan otot
dibelakangnya menjadi terbuka.
2.
Derajat II
: cedera dinding vagina bagian
posterior dan otot perineum, sfingter ani utuh.
3.
Derajat
III : robekan pada sfingter ani namun
mukosa rektum utuh.
4.
Derajat IV
: kanalis ani terbuka dan robekan
dapat meluas ke rectum.
Prinsip perbaikan luka episiotomi :
1. Hemostasis.
2. Restorasi anatomis tercapai tanpa jahitan berlebihan.
3. Benang yang digunakan chromic cat-gut atau poliglikolik #
3-0 .
Perbaikan pada ruptura perinei derajat IV
Gambar Perbaikan ruptura perinei totalis
A.
Mendekatkan
mukosa dan submukosa anorektum dengan benang “absorable” (misalnya chromic #
3-0 atau 4-0 atau Vicryl. Dilakukan identifikasi tepi atas laserasi canalis ani
dan jahitan ditempatkan melalui submukosa anorektum dengan jarak ± 0.5 cm
kearah lubang anus.
B.
Lapisan
kedua ditempatkan melalui otot rectum dengan Vicryl 3-0 secara jelujur atau
terputus. ” Lapisan penguat” ini harus disatukan dengan ujung luka pada
sfingter ani ( berupa otot polos sirkuler sejauh 2 – 3 cm dari canalis ani)
C.
Dilakukan
identifikasi ujung sfingter ani eksterna yang putus dan kemudian dijepit dengan
“Allis” klem
D.
4 jahitan
terputus pada otot sfingter ani yang terputus posisi jam 3-6-9-12
Robekan servik
1. Robekan servik dapat terjadi bila pasien meneran pada saat
dilatasi servik belum lengkap dan ketuban sudah pecah.
2. Pasca tindakan persalinan operatif pervaginam (ekstraksi
cunam), dapat menyebabkan terjadinya robekan servik.
3. Untuk keperluan hemostasis perbaikan robekan servik harus
dimulai pada apex luka.
E.
PERSALINAN KALA IV (TAHAP PENGAWASAN)
Tahap ini digunakan untuk melakukan pengawasan
terhadap bahaya perdarahan. Pengawasan ini dilakukan selama kurang lebih
dua jam. Dalam tahap ini ibu masih mengeluarkan darah dari vagina, tapi tidak
banyak, yang berasal dari pembuluh darah yang ada di dinding rahim tempat
terlepasnya plasenta, dan setelah beberapa hari anda akan mengeluarkan cairan
sedikit darah yang disebut lokia yang berasal dari sisa-sisa jaringan.
Pada beberapa keadaan, pengeluaran darah setelah proses kelahiran menjadi banyak. Ini disebabkan beberapa faktor seperti lemahnya kontraksi atau tidak berkontraksi otot-otot rahim. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan sehingga jika perdarahan semakin hebat, dapat dilakukan tindakan secepatnya.
Pada beberapa keadaan, pengeluaran darah setelah proses kelahiran menjadi banyak. Ini disebabkan beberapa faktor seperti lemahnya kontraksi atau tidak berkontraksi otot-otot rahim. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan sehingga jika perdarahan semakin hebat, dapat dilakukan tindakan secepatnya.
Sebelum dirawat di ruang perawatan nifas, pasien pasca
persalinan harus :
1.
Keadaan umum baik .
2.
Kontraksi uterus baik dan tidak
terdapat perdarahan pervaginam.
3.
Cedera perineum sudah diperbaiki.
4.
Kandung kemih kosong.
Rujukan
- American College of Obstetricians and Gynecologist: Optimal goals for anaesthesia care in obstetrics.
Committee Opinion No 256, May 2001
- Cunningham FG et
al : Normal Labor and Delivery in “ Williams Obstetrics” , 22nd
ed, McGraw-Hill, 2005
- DeCherney AH. Nathan L : The course & Conduct of Normal Labor and
Delivery ini Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Therapy ,
McGraw – Hill Companies, 2003
- Llewelyn-Jones
: Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
- Poen AC, Felt-Nersma RJ, Strijers RL et al: Third degree obstetric perineal tear: Long-term
clinical and functional result after primary repair. Br J surg 85:1433,
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar